Sebelum lanjut baca ini, kalian boleh baca tulisan yang beberapa tahun lalu kuperuntukkan ke orang-orang yang mungkin sedang tenggelam terlalu lama dalam kesedihannya sendiri di sini.
Pernah tidak merasa sangat sedih sampai rasanya sesak sekali hanya untuk mencari akar permasalahannya? Rasanya hanya ingin mengiringi oksigen dengan kesedihan saja dan berusaha sekuat tenaga membentengi diri dari bahagia yang berpeluh ingin menerobos masuk untuk meluruhkan duka yang ada. Bukannya tidak ingin bahagia, hanya ingin sedih saja.
Entah bagaimana cara kalian menghadapi sebuah kesedihan, tetapi biasanya aku duduk bersila cukup lama pada suatu waktu dan menikmati hati yang seperti ditusuk beribu jarum dari segala arah tanpa ada niatan awal untuk mengakhirinya. Seperti beberapa tahun lalu, saat dirundung permasalahan tak terbayangkan, aku mengurung diri cukup lama. Tanpa membiarkan apapun mengusik kesenanganku untuk dirasuki kesedihan sedemikian rupa. Aku bahkan tidak menangis, tidak mengutuki siapapun, tidak menyalahkan Tuhan, atau tidak mencari perhatian ke siapapun. Aku hanya ingin sedih saja.
Sampai akhirnya kaki yang sudah hampir mati rasa karena terlalu lama tak dialiri darah kehidupan nyata, menemukan caranya lari ke luar mencari bantuan. Namun nyatanya, tidak afdol jika kaki yang sedang berjalan tidak tersandung batu dan terjatuh. Aku menemukan puzzle baru yang agak membuatku tertatih-tatih dalam menemukan solusi pada kisahku. Aku ternyata tidak biasa meminta tolong. Tidak saat sesak napas mendera dan pusing yang tak main-main saat di keramaian. Tidak saat menyadari diri tak pandai bercerita. Tidak saat perasaan rasanya membuncah tak terkendali. Tidak saat ingin sekali didekap dan diberitahu semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak tahu caranya meminta tolong dengan benar dan itu sungguh menyebalkan karena aku tahu aku sedang butuh bantuan.
Hingga akhirnya aku hanya tertawa-tawa saja di depan orang. Setiap serangan panik datang, aku pura-pura ingin ke toilet untuk menenangkan diri, terkadang muntah atau hanya memaksa diri ingin buang air padahal perut sedang kosong. Ironisnya, ternyata tertawa-tawa di depan orang kujadikan usaha untuk mengeruk sedikit demi sedikit sedih yang menggerogoti. Iya, pada akhirnya aku tetap ingin menetralkan pertemananku yang terlalu condong ke kesedihan. Aku butuh bahagia, walaupun waktu itu kupikir cara yang paling baik adalah dengan tertawa-tawa di depan orang.
Hal paling mengejutkan dalam perjalananku menuju ke pribadi yang tertawa-tawa saja di depan orang itu, ibuku tiba-tiba saja menyarankan untuk pergi ke psikolog. Aku menolak halus dengan alasan ingin sesi konsultasinya harus diiringi solusi agama. Ibu menyebut beberapa nama temannya, dan aku mengangguk saja tanpa menyetujui satupun nama yang dianjurkan olehnya. Sejujurnya waktu itu aku bingung karena seharusnya saran itu tidak terlontar dari ibuku yang hampir tidak pernah kutemani berbagi cerita dengan air mata. Malah lebih sering senyum-senyum. Hal itu yang membuat aku sadar bahwa selama proses penyembuhanku itu, aku hanya akting saja. Padahal kukira sudah oke, ternyata aktingnya saja yang oke, menyebalkan bukan?
Selama hampir tiga tahun aku mencoba memutuskan silahturahmi dengan serangan panik secara baik-baik. Masih dengan tertawa-tawa di depan orang. Masih dengan pura-pura ke toilet saat ingin muntah karena melihat banyak sekali manusia. Sampai pada titik aku akhirnya menemukan alasan untuk tidak berpura-pura. Alasan yang membuat kebahagian di dalam diriku berkembang biak dengan cepat. Aku pun mengatasi serangan panik itu dengan banyak menunduk saat berjalan, dan berusaha memusatkan netra pada hal yang ingin kulihat saja. Sambil bersenandung bahwa semua akan baik-baik saja sepanjang alasan itu selalu kupegang erat-erat. Sekalipun sesekali kudapati diri menertawai sesuatu yang seharusnya tidak kutertawakan, tetapi empatiku menaiki tangga hidupku pelan-pelan. Ceria dan senyum perlahan-lahan kulemparkan tanpa kepura-puraan. Syukurku jadi sering kugandeng di setiap langkahku. Jadi pandai membahagiakan hal-hal kecil dan mengabaikan hal remeh yang bisa menggoyahkan iman bahagiaku. Aku akhirnya percaya bahwa kesedihan dan kebahagian itu adalah teman baik. Mereka akan saling mengiringi, dan tidak terpisahkan. Hanya butuh dikondisikan saja mana yang perlu dibiarkan dominan.
Akhir-akhir ini aku jadi selalu ingat dengan petuah ibu setiap melihatku terlalu ‘kaku’,
“santai saja, Fah.”
Iyap, santai saja. Everything happens for good reasons!
Anw, baru pertama kalinya berani membahas masalah ini. Cerita tentang patah hati yang tidak akan pernah kutuliskan dan kusebutkan penyebabnya. Patah hati yang mungkin membekaskan trauma cukup dalam tapi pun memberi pelajaran yang tak main-main.
Teruntuk kalian sedang dipeluk kegelisahan yang memuakkan, seeking for help will not make you looked miserable. Seeking for help might be the best solutions for your problems. Entah itu dengan menuturkan masalah dalam suara, atau hanya berbagi senyum saja tanpa perlu ada yang diutarakan.
Sedih tak apa. Hanya jangan lupa sesekali menengok bahagia. Mungkin masalahmu tidak akan selesai, atau mungkin kamu akan hidup dengan masalah itu sepanjang napasmu masih berhembus. Tapi jangan lupa ada bahagia di setiap sedih.
Sadness and happiness are good friends!
Semangat ya kamu, iya kamu! 🙂
.
.
.
.
Ini kutulis karena berita salah satu artis korea, Sulli, yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang bikin shock beberapa hari lalu.
You could never imagine hows dark people’s life until they choose to present their sadness in the worst way.
Being a good listener isn’t easy, but at least trying to listen is much much better than doing nothing.